FARAH 12210606 3EA13
JURNAL 2
TAYANGAN KEKERASAN DI TELEVISI DAN PERILAKU PELAJAR
BAB 1 PENDAHULUAN
>Latar Belakang Masalah
Sejak berkembangnya industri
pertelevisian di tahun 90-an, publik di Indonesia disajikan jenis tontonan yang
semakin beragam. Khususnya setelah dikeluarkannya Undang-Undang Pers No. 40
Tahun 1999 yang menandai era kebebasan pers di Indonesia, penonton televisi di
Indonesia disajikan berita-berita yang semakin cepat dan detail. Khususnya
berita tentang kekerasan, baik yang disajikan dalam bentuk film, berita-berita,
olahraga hiburan seperti smack down ataupun kekerasan dalam sajian
kartun. Pelaku tindak kekerasan dalam tayangan televisi bisa dilakukan para
orang dewasa ataupun oleh pelajar.
Berita kekerasan di media televisi
tidak sedikit yang melibatkan pelajar, baik dari pelajar tingkat Sekolah Dasar
(SD) sampai tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) mempraktekkan
kekerasan dalam lingkungan sekolah atau dalam lingkungan yang terkait dalam
dunia pendidikan.
Berita-berita yang disajikan
media televisi ini dikonsumsi secara luas dan bebas oleh semua kalangan
termasuk kalangan pelajar. Hal ini terkait dengan keberadaan manusia yang
merupakan makhluk yang memerlukan informasi karena sifat ingin tahu yang
dimiliki oleh setiap orang. Orang juga terdorong mencari informasi untuk dapat
memahami berbagai aspek lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial di mana dia berada. Dalam interaksi sosial, seseorang individu akan
melakukan komunikasi yang merupakan sarana individu untuk saling dipertukarkan.
Schramm mengatakan bahwa ‘usaha-usaha untuk mencari informasi secara individual
kebanyakan dari komunikasi’ (Siregar, 1983:35). Apalagi di era digital sekarang
ini di mana kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari media massa khususnya
televisi. Sekarang ini media menjadi sumber informasi yang sangat akrab karena
hampir setiap hari berinteraksi dari pagi hari sampai malam. Seperti dikatakan
Wiener (Susanto, 1986:3) ‘untuk dapat hidup efektif orang harus hidup dengan
cukup informasi’.
Masalah kekerasan di media sudah
sejak lama jadi perhatian para pakar sosiologi, psikologi dan komunikasi di
seluruh dunia termasuk di Indonesia. Penelitian Liebert dan Sprafkin memandang
televisi sebagai 'jendela dini' anak-anak untuk melihat dunia. Mereka menelaah
semua teori dan riset mengenai sikap, perilaku dan perkembangan anak-anak,
membahas efek negatif juga efek prososial menonton televisi bagi anak-anak.
Penelitian mereka menyebutkan,
pesawat televisi di Amerika rata-rata dihidupkan lebih dari tujuh jam
setiap hari dan sejak tahun 1950-an secara signifikan telah mengubah kehidupan
keluarga. Di Amerika sendiri, hampir 98 persen dari semua rumah memiliki
televisi sehingga disimpulkan bahwa anak-anak diterpa televisi sejak mereka lahir.
(Robert M Liebert and Joyce Sprafkin, 1988).
Di Amerika, selama sepuluh tahun
pertama kehidupan anak-anak yang terkena terpaan televisi adalah sangat
dominan. Diperkirakan, menjelang seorang anak lulus dari SMA rata-rata mereka
telah menonton sekitar 18.000 pembunuhan dalam televisi. Sebuah survei mengenai
acara televisi melaporkan bahwa pada senja hari ketika sekitar 26,7 juta anak
Amerika menonton televisi, insiden-insiden kekerasan yang diperlihatkan
kira-kira sekali dalam setiap 16,3 menit. (Stewart and Sylvia, 1996).
Di Indonesia, setidaknya ada 10
stasiun televisi swasta nasional, yakni Indosiar, TPI, TransTV, ANTV, Global
TV, RCTI, SCTV, TVOne, MetroTV, TransTV ditambah satu televisi pemerintah,
yaitu TVRI dan tiga stasiun televisi lokal yaitu Deli TV, DAAI TV dan TV Anak.
Pada umumnya, stasiun televisi swasta nasional termasuk TPI memiliki tayangan
khusus kriminal. Di samping itu, sajian televisi pada umumnya sering
menampilkan adegan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Berbagai telaah dan penelitian
para ilmuwan menyimpulkan bahwa tayangan kekerasan di televisi yang disiarkan
secara berulang-ulang menimbulkan efek bagi para pelajar. Para pelajar akan
berubah dari objek yang menonton tayangan kekerasan menjadi pelaku kekerasan
tersebut. Asumsi tersebut akan menarik jika digali lebih dalam melalui
penelitian ini.
>Permasalahan
Dari uraian yang disampaikan di atas, dalam penelitian ini dirumuskan hal yang
menjadi masalah, yakni: Apakah tayangan kekerasan di media televisi memotivasi
perilaku kekerasan pada pelajar ?
>Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui
tanggapan pelajar tentang tayangan kekerasan di televisi.
2. Untuk mengetahui
kemampuan tayangan kekerasan di televisi memberikan motivasi melakukan tindakan
kekerasan di kalangan pelajar.
BAB 2 LANDASAN TEORI
a. Komunikasi Massa
Pada
prinsipnya komunikasi dapat menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat atau
sebaliknya semua aspek kehidupan menyentuh komunikasi. Itulah sebabnya
komunikasi dikatakan sebagai ubiquitous atau ada di mana-mana.
Artinya komunikasi itu selalu ada di mana saja dan kapan saja. Fenomena
komunikasi dapat memelihara dan menggerakkan kehidupan. Komunikasi dapat
mengubah insting menjadi inspirasi, yaitu melalui proses atau sistem untuk
bertanya, memberi perintah dan mengawasi. Ia juga sebagai alat untuk
menggambarkan aktivitas masyarakat dan peradaban. Ia dapat memperkuat perasaan
kebersamaan dengan saling bertukar informasi dan mengubah pemikiran menjadi
tindakan, (Arifin, 1998:20).
Kegiatan komunikasi yang menggunakan media massa disebut dengan komunikasi
massa. Dalam pemakaiannya secara populer, komunikasi massa sering diidentikkan
dengan penggunaan televisi, radio, film, surat kabar, majalah dan berbagai
bentuk teknologi lainnya. Bittner mendefinisikan komunikasi massa secara
sederhana yakni: komunikasi massa sebagai pesan yang dikomunikasikan melalui
media massa pada sejumlah orang (Rakhmat, 1994:188).
Ada
beberapa karakteristik dari komunikasi massa (Wright, 1988:3) yaitu:
1. Ditujukan kepada
khalayak yang relatif besar, bersifat heterogen dan anonim.
2. Pesan yang disampaikan
terbuka untuk umum dan seringkali menjangkau khalayak dalam jumlah besar secara
simultan dan bersifat sementara.
3. Komunikator cenderung
merupakan suatu organisasi yang kompleks yang mungkin melibatkan biaya yang
besar.
b. Televisi
Seperti halnya radio, televisi lahir setelah adanya beberapa penemuan teknologi
seperti telepon, telegraf, fotografi (yang bergerak dan yang tidak bergerak)
dan rekaman suara. Teknologi ini ditemukan untuk mencari kegunaan, bukannya
sesuatu yang lahir sebagai respons terhadap suatu kebutuhan pelayanan baru.
Williams mengatakan ‘Berbeda dengan jenis teknologi komunikasi terdahulu, radio
dan televisi merupakan sistem yang dirancang terutama untuk kepentingan
transmisi dan penerimaan yang merupakan proses abstrak yang batasan isinya
sangat terbatas atau bahkan sama sekali tidak ada’.(Raymond Williams, 1975)
Televisi adalah produk revolusi elektronik atau sering disebut juga Revolusi
Industri Kedua dalam abad ke-20 ini, menurut pengamatan para ahli komunikasi
menimbulkan revolution of the rising frustration (revolusi
meningkatnya frustrasi). Anggapan ini karena media elektronik telah
memanipulasi keinginan khalayak, tetapi tidak menciptakan cara-cara untuk
memperolehnya. Informasi yang disebarkan media massa elektronik terutama
dilancarkan dari atas ke bawah, dari kaum elit ke massa khalayak, dari kota ke
desa, dari yang sudah berkembang ke yang sedang berkembang. (Onong, 1992:119).
Menurut Prof Dr R. Mar’at dari Universitas Padjajaran Bandung, acara televisi
pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan para
penonton; ini adalah hal yang wajar. Jadi apabila ada hal-hal yang menyebabkan
penonton terharu, terpesona atau latah, bukanlah suatu yang istimewa, sebab
salah satu pengaruh psikologis dari televisi seakan-akan menghipnotis penonton
sehingga mereka seolah-olah hanyut dalam keterlibatan pada kisah atau peristiwa
yang dihidangkan televisi.
Pengaruh televisi itu kuat terhadap kehidupan manusia sudah diduga dan
disadari ketika media massa itu pada tahun 1962 mulai dimunculkan di
tengah-tengah masyarakat. Tetapi pengaruhnya bisa positif bisa negatif
tergantung pengelolaannya. Masalahnya sekarang adalah bagaimana agar pengaruh
yang positif itu seperti to inform (menyebarkan informasi)
dan to educate (fungsi mendidik) bisa benar-benar dimanfaatkan.
Sedangkan to entertain (fungsi menghibur) dan to influence (mempengaruhi)
jangan sampai merusak tata nilai bangsa.
c. Definisi Kekerasan
Definisi kekerasan Fisik badan kesehatan Perserikatan Bangsa-bangsa World
Health Organization (WHO) adalah tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang
lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual dan psikogi. Tindakan
itu antara lain berupa memukul, menendang, menampar, menikam, menembak,
mendorong (paksa) dan menjepit.
Sedangkan UU Anti Perdagangan Orang mengajukan definisi kekerasan adalah setiap
perbuatan dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum terhadap
fisik yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya
kemerdekaan seseorang.
Kedua definisi kekerasan tersebut tidak mensyaratkan bahwa tindakan yang
memicunya harus selalu tindakan ilegal, yang penting tindakan itu mengakibatkan
ketakutan, kesadaran akan bahaya atau perampasan kemerdekaan seseorang. Karena
itu kekerasan dibagi menjadi dua unsur, definisi kekerasan dan ancaman
kekerasan. Hingga makna kekerasan merupakan ancaman atau penggunaan kekuatan
fisik untuk menimbulkan kerusakan pada orang lain.
d. Teori Belajar Sosial
Menurut teori belajar sosial, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya.
Berbagai penelitian yang dilakukan (Liebert dan Baron, 1972; Joy, 1977)
memberikan suatu kesimpulan bahwa efek adegan kekerasan terjadi dalam tiga
tahap:
1. Penonton mempelajari
metode agresi setelah melihat contoh (observational learning).
2. Kemampuan penonton
dalam mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition).
3. Perasaan mereka
menjadi tidak tersentuh walaupun melihat korban tindakan agresinya
(desensitization).
Berkaitan dengan kekerasan, teori
belajar sosial menjelaskan bahwa anak mempelajari perilaku baru melalui
pengamatan terhadap model, mengimitasi dan mempraktikkanya ke dalam perilaku
nyata.
Lingkungan sosial menyediakan bermacam-macam kesempatan untuk memperoleh
ketrampilan dan kecakapan dengan jalan mengamati pola-pola tingkah laku
beserta akibat-akibatnya atau konsekuensi-konsekuensinya. Teori belajar sosial
mulai dengan menganalisis dua hal:
1. Teori Behavioristik: Teori ini memandang belajar itu
sebagai hubungan antara stimulus dan respon.
2. Teori tentang Sosialisasi anak: Teori behavioristik hanya
terbatas pada hubungan S – R (Stimulus – Respons) saja. Sedangkan teori belajar
sosial beranggapan bahwa hubungan antarpribadi antara anak dengan orang dewasa
menyebabkan anak meniru atau menyerap perilaku-perilaku sosial melalui
interaksi sosial anak melakukan identifikasi dengan orang tuanya, dengan
kekuasaan, dengan perasaan iri dan sebagainya.
BAB 3 METODELOGI PENELITIAN
a. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam
penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Penelitian iniuntuk
menggambarkan secara objektif apa adanya data yang didapat dari lapangan.
b. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan.
c. Populasi Dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah para pelajar tingkat SLTA yaitu tingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA)
yang bersekolah di wilayah Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan. Berdasarkan
data dari Pemko Medan, jumlah populasi pelajar SLTA di Kecamatan Medan Tembung
sebanyak 10.889 orang yang terdiri dari 5.721 orang tingkat SMA, 4.294 orang
tingkat SMK dan 874 orang untuk tingkat MA.
Sedangkan sampel dalam penelitian ini ditarik dari populasi
dengan menggunakan rumus Slovin (Consuelo:1993).
N

1
+ Ne ²
Di mana:
n = Besaran sampel
N = Besaran populasi
e = Nilai kritis yang diinginkan
Maka
10.889


1
+ (10889) (10%)²
=
92 Responden
Penarikan sampel menggunakan
teknik Proportional Stratified Random Sampling di mana jumlah
sampel ditarik sesuai dengan proporsi dalam populasinya. (Bambang &
Lina: 2005)
Populasi


Total Populasi
Maka
:
Sampel SMA = 5721/10889 x 92 = 48 Responden
Sampel SMK = 4294/10889 x 92 = 36 Responden
Sampel MA = 874/10889 x
92 = 8 Responden
>Metode Analisis Data
Dalam
penelitian ini, analisis data dilakukan dengan melakukan survei
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data, yang termasuk dalam
penelitian kuantitatif.
Penelitian kuantitatif pada umumnya adalah bersifat deduktif, yaitu dimulai
dari penjelasan teoritis yang bersifat umum. Kemudian pandangan teoritis yang
bersifat umum itu diuji kebenarannya kepada suatu sampel tertentu yang bersifat
khusus untuk diambil suatu kesimpulan.
Secara umum penelitian
kuantitatif diartikan sebagai suatu penelitian yang menggunaan alat bantu
statistik sebagai paling utama dalam memberikan gambaran atas suatu peristiwa
atau gejala, baik statistik deskriptif maupun statistik inferensial.
>Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
Para responden dibagi ke dalam
kelompok kelas I, kelas II dan kelas III setingkat SLTA. Dari segi jenis
kelamin, responden dikelompokkan pria sebanyak 50 persen dan perempuan 50
persen. Usia responden adalah usia sekolah tingkat SLTA antara 16 sampai 20
tahun.
2. Waktu menonton televisi
Pada umumnya para pelajar
menonton TV pada malam hari (53,5%) dan sore hari (20,9%). Sedangkan 18,6%
menonton TV pada siang hari dan hanya 7% pada pagi hari.
Tabel 1
Waktu Menonton Televisi
No
|
Waktu Menonton
|
F
|
%
|
1.
|
Pagi hari
|
7
|
7
|
2.
|
Siang hari
|
17
|
18,6
|
3.
|
Sore hari
|
19
|
20,9
|
4.
|
Malam hari
|
49
|
53,5
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
Sementara waktu yang dihabiskan di depan televisi setiap hari rata-rata 2-5 jam
(79,1%) dan 18,6% yang menonton 0-1 jam sehari serta sebanyak 2,3% menonton TV
selama 6-10 jam sehari.
Tabel 2
Waktu Menonton Televisi
No
|
Waktu Menonton
|
F
|
%
|
1.
|
0-1 jam
|
17
|
18,6
|
2.
|
2-5 jam
|
73
|
79,1
|
3.
|
6-10 jam
|
2
|
2,3
|
4.
|
11-15 jam
|
-
|
-
|
5.
|
15 jam <
|
-
|
-
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
3. Tujuan Menonton Televisi
Pada umumnya pelajar menonton TV
untuk mencari hiburan (52%), sedangkan yang ingin mencari informasi sebanyak
(32,6%) dan hanya 2,3% untuk tujuan pendidikan, selebihnya 13,1% untuk tujuan
lain.
Tabel 3
Tujuan Menonton Televisi
No
|
Tujuan Menonton
|
F
|
%
|
1.
|
Mencari hiburan
|
48
|
52
|
2.
|
Mencari informasi
|
30
|
32,6
|
3.
|
Untuk pendidikan
|
2
|
2,3
|
4.
|
Dll
|
12
|
13,1
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
Setelah menonton tayangan
televisi banyak pelajar akan mengabaikan apa yang baru dia saksikan (39,5%).
Namun jumlah yang menjadikan tayangan televisi sebagai referensinya juga cukup
signifikan, yakni 25,6%. Selebihnya 18,6% memikirkan/menganalisanya dan 16,3%
yang mendiskusikannya.
Tabel 4
Tindakan Setelah Menonton
No
|
Tindakan Setelah Menonton TV
|
F
|
%
|
1.
|
Memikirkan/Menganalisa
|
17
|
18,6
|
2.
|
Dijadikan referensi
|
24
|
25,6
|
3.
|
Mendiskusikannya
|
15
|
16,3
|
4.
|
Mengabaikannya
|
36
|
39,5
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
4. Jenis Tontonan
Jenis tontonan hiburan berupa
musik adalah yang paling disukai pelajar (44,3%), disusul tayangan berita
(20,9%), film Barat (18,6%), olahraga (9,3%), Kartun (4,6%), dan sinetron 2,3%.
Tabel 5
Jenis Tontonan
No
|
Jenis tontonan
|
F
|
%
|
1.
|
Berita
|
19
|
20,9
|
2.
|
Sinetron
|
2
|
2,3
|
3.
|
Film Barat
|
17
|
18,6
|
4.
|
Kartun
|
4
|
4,6
|
5.
|
Musik
|
41
|
44,3
|
6.
|
Olahraga
|
9
|
9,3
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
Jenis tayangan berita yang paling disukai pelajar adalah
berita kriminal (60,5%), politik (13,9%), ekonomi (11,6%), infotainment (9,3%).
Tabel 6
Jenis Berita
No
|
Jenis Berita
|
F
|
%
|
1.
|
Berita Kriminal
|
56
|
60,5
|
2.
|
Berita Politik
|
13
|
13,9
|
3.
|
Berita Ekonomi
|
11
|
11,6
|
4.
|
Infoteinmen
|
8
|
9,3
|
5.
|
Dll
|
4
|
4,7
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
Sedangkan
jenis film yang paling disukai adalah film perang (62,8%) dan film action/laga
(23,3%) yang mana keduanya adalah jenis film yang cenderung menampilkan aksi
kekerasan.
Tabel 7
Jenis Film Yang Ditonton
No
|
Jenis Film
|
F
|
%
|
1.
|
Film Action/Laga
|
21
|
23,3
|
2.
|
Film Perang
|
58
|
62,8
|
3.
|
Film Asmara
|
13
|
13,9
|
4.
|
Dll
|
-
|
-
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
5. Frekuensi Menonton
Tayangan Kekerasan
Pada umumnya para pelajar
ternyata suka menyaksikan tayangan kekerasan (55,8%), bahkan 23,3% sangat
menyukainya. Jumlah yang tidak suka lebih sedikit (16,3%) dan sangat tidak suka
4,6%.
Tabel 8
Tingkat menyukai tayangan kekerasan
No
|
Tanggapan
|
F
|
%
|
1.
|
Sangat Suka
|
21
|
23,3
|
2.
|
Suka
|
51
|
55,8
|
3.
|
Tidak Suka
|
15
|
16,3
|
4.
|
Sangat Tidak Suka
|
5
|
4,6
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
Meski jumlah yang jarang menonton tayangan kekerasan sebanyak 55,8%, namun yang
sering menontonya juga banyak, yakni 41,9% dan 2,3% sangat sering.
Tabel 9
Frekuensi Menonton Tayangan Kekerasan
No
|
Frekuensi Kekerasan
|
F
|
%
|
1.
|
Sangat Sering
|
2
|
2,3
|
2.
|
Sering
|
39
|
41,9
|
3.
|
Jarang
|
51
|
55,8
|
4.
|
Tidak Pernah
|
-
|
-
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
Meski
menyukai, namun pada umumnya pelajar berpendapat tayangan kekerasan tidak perlu
(60,5%) dan 9,3% sangat tidak perlu. Namun ada 30,2% yang menyatakan perlu.
Tabel 10
Tanggapan Pelajar Terhadap Tayangan Kekerasan
No
|
Tanggapan
|
F
|
%
|
1.
|
Sangat Perlu
|
-
|
|
2.
|
Perlu
|
28
|
30,2
|
3.
|
Tidak Perlu
|
56
|
60,5
|
4.
|
Sangat Tidak Perlu
|
8
|
9,3
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
6. Motivasi Tayangan Kekerasan Di Televisi
Perilaku kekerasan seperti
mencubit, memukul, menampar pernah dilakukan pada umumnya pelajar (65,2%),
bahkan ada 13,9% yang mengaku sering melakukannya. Sedangkan 20,9% tidak pernah
melakukan kekerasan.
Tabel 11
Perilaku Kekerasan Pelajar
No
|
Perilaku Kekerasan
|
F
|
%
|
1.
|
Sangat Sering
|
-
|
-
|
2.
|
Sering
|
13
|
13,9
|
3.
|
Pernah
|
60
|
65,2
|
4.
|
Tidak Pernah
|
19
|
20,9
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
Perilaku kekerasan yang dilakukan pelajar karena termotivasi oleh tayangan
kekerasan di televisi (13,9%) dan 7% lainnya sangat dimotivasi oleh tayangan
tersebut.
Tabel 12
Motivasi Tayangan Kekerasan
No
|
Motivasi Tayangan
|
F
|
%
|
1.
|
Sangat Memotivasi
|
6
|
7
|
2.
|
Memotivasi
|
13
|
13,9
|
3.
|
Tidak Memotivasi
|
56
|
60,5
|
4.
|
Sangat Tidak Memotivasi
|
17
|
18,6
|
Jumlah
|
92
|
100
|
Sumber : Hasil Penelitian
n = 92
BAB 4 PEMBAHASAN
Dari
sebanyak 92 responden yang merupakan pelajar tingkat SLTA di Kecamatan Medan
Tembung, 51 orang (55%) adalah pria dan 41 orang (45%) adalah perempuan.
Sebanyak
20% responden menyukai tayangan berita di televisi dan dari yang menyukai
berita tersebut, 60,5% lebih menyukai tayangan berita kriminal. Hal ini
berbanding lurus dengan jenis film yang lebih disukai yakni jenis film perang (62,8%)
dan jenis film laga/action (23,3%).
Pada umumnya pelajar (55,8%) suka tayangan yang menampilkan aksi kekerasan dan
41,9% mengaku sering menyaksikan tayangan seperti itu. Mereka menyatakan
tayangan yang berbau kekerasan itu perlu dilihat pelajar (30,2%), meski yang
menyatakan tidak perlu masih jauh lebih banyak yakni 60,5%.
Para pelajar ini pada umumnya juga pernah melakukan kekerasan (65,1%) dan yang
menyatakan sering melakukan kekerasan sebanyak 13,9%, selebihnya 20,9% tidak
pernah melakukan kekerasan seperti memukul, mencubit dan menampar. Jumlah ini
sebanding dengan jumlah pelajar yang termotivasi melakukan tindakan kekerasan
karena tayangan televisi. Sebanyak 13,9% mengaku perilaku kekerasan yang
dilakukannya termotivasi oleh tayangan televisi, meski jumlah yang tidak
termotivasi masih jauh lebih besar (60,5%) dan yang sangat tidak termotivasi
18,6%.
BAB 5 KESIMPULAN
Frekuensi
tayangan kekerasan di televisi semakin tinggi, sesuai dengan keinginan
masyarakat penonton televisi yang memang menggemari tayangan seperti itu.
Kalangan pelajar adalah salah satu kelompok masyarakat yang menyukai tayangan
yang berbau kekerasan.
Hobi menyaksikan tayangan kekerasan tersebut ternyata menimbulkan motivasi bagi
pelajar untuk melakukan tindakan kekerasan yang sama. Baik secara sadar ataupun
tidak sadar mereka memiliki kecenderungan melakukan tindakan kekerasan seperti
yang dilihatnya di televisi.
Oleh : Ida Tumengkol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar